Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.1)
Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan bumi ini dengan begitu luasnya. Setiap daerah dan negeri memiliki ciri khas dan budayanya masing-masing. Semua itu menandakan besarnya keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala, Pencipta kita.
Dengan berjalan di muka bumi, meresapi setiap sudutnya, dan mengambil hikmah dari keberagamannya, maka kita akan mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga. Dengannya pula, seseorang yang berakal akan memahami bahwa dirinya hanyalah salah satu makhluk ciptaan Allah Ta’ala dari sekian banyak ciptaan-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman mengabarkan dan mengajak kita untuk mengambil pelajaran dari semua yang ada di bumi ini. Ia berfirman,
وَفِى ٱلْأَرْضِ ءَايَٰتٌ لِّلْمُوقِنِينَ
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Az-Zariyat: 20)
Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ سِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ ٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ
“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.`” (QS. Al-An’am: 11)
Safar dan melakukan perjalanan merupakan sunnatullah pada umat manusia. Entah itu untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, ataupun sebab lainnya. Seorang muslim pastilah pernah dan akan butuh untuk melakukan perjalanan. Perintah untuk berjalan di muka bumi untuk mencari rezeki, bahkan beberapa kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
Di dalam hadis Nabi, banyak juga disebutkan perihal mereka yang melakukan perjalanan. Seperti hadis yang menyebutkan kisah seorang musafir yang tidak Allah kabulkan doanya karena makanan dan minumannya yang haram, atau hadis yang menjelaskan keutamaan menempuh sebuah perjalanan untuk menuntut ilmu. Yaitu, sabda beliau,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028)
Ayat dan hadis ini dengan gamblangnya menunjukkan kepada kita betapa pentingnya perjalanan bagi umat manusia. Di dalam menjalankan sunnatullah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan arahan dan bimbingan yang bisa diamalkan seorang muslim ketika dirinya sedang menempuh perjalanan. Sunnah-sunnah yang akan menjadikan perjalanan seorang muslim bernilai ibadah dan sarat akan keutamaan.
Hari-hari ini, sebagian dari kita mungkin akan memanfaatkan momentum libur sekolah dan akhir tahun untuk melakukan perjalanan. Entah itu untuk pulang ke kampung halaman atau sekedar berlibur ke kota lain. Oleh karenanya, pada artikel kali ini, kita akan pelajari lebih lanjut beberapa sunnah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melakukan sebuah perjalanan.
Pertama: Istikharah sebelum berangkat
Saat mendapatkan sebuah pekerjaan di luar kota atau akan pergi jauh untuk menuntut ilmu atau ingin melakukan perjalanan karena sebab-sebab mubah lainnya, maka hendaknya melaksanakan salat istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk dan arahan Allah Ta’ala terkait manakah yang terbaik bagi dirinya. Apakah tetap menetap dan tidak pergi ataukah pergi menunaikan hajatnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan salat istikharah kepada para sahabatnya dalam hal apapun. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ في الأُمُورِ كُلِّهَا كما يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ
“Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam memutuskan segala sesuatu, (sebagaimana mengajari kami) surat dalam Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 1162)
Baca juga: Hukum Safar di Hari Jum’at
Kedua: Mencari teman perjalanan dan tidak pergi sendirian
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan para sahabatnya untuk pergi melakukan perjalanan dengan berkelompok dan melarang mereka dari pergi seorang diri. Beliau bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ ما في الوَحْدَةِ ما أعْلَمُ، ما سارَ راكِبٌ بلَيْلٍ وحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui (keburukan) apa yang terdapat dalam bepergian seorang diri sebagaimana yang aku ketahui, tentu seorang penunggang kendaraan tidak akan bepergian sendirian di malam hari.” (HR. Bukhari no. 2998)
Seorang muslim yang hendak pergi melakukan perjalanan hendaknya mencari teman perjalanan yang dapat membantunya dalam perjalanan tersebut. Entah itu mengingatkan dirinya untuk terus melakukan ibadah atau mengingatkan dirinya saat lalai dan melakukan kemaksiatan atau minimalnya saling bergantian menjaga barang bawaan dan saat salah satunya kelelahan.
Di hadis yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّاكِبُ شيطانٌ ، والرَّاكبانِ شَيطانانِ ، والثَّلاثَةُ رَكْبٌ
“Orang yang berkendaraan sendirian adalah setan. Orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan. Orang yang berkendaraan bertiga, maka itulah orang yang berkendaraan yang benar.“ (HR. Abu Daud no.2607 dan Tirmidzi no. 1674)
Disebut setan karena setan akan menggoda dan mengajak untuk melakukan kemaksiatan kepada seseorang yang sedang sendirian atau berduaan. Berbeda halnya jika ada tiga orang atau lebih. Selain juga karena dengan adanya tiga orang atau lebih, maka akan memudahkan mereka di dalam mengatur tugas masing-masing serta memudahkan mereka untuk saling menjaga satu sama lain.
Ketiga: Memilih salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin perjalanan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menekankan para sahabatnya untuk melakukan hal tersebut tatkala bepergian, agar tidak muncul permasalahan dan perpecahan karena adanya ketidaksepakatan di antara mereka. Dengan adanya pemimpin, maka akan lebih mudah di dalam menyeleraskan tujuan.
Keeempat: Rasulullah senang memulai perjalanannya pada awal hari Kamis
Sahabat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَرَجَ يَومَ الخَمِيسِ في غَزْوَةِ تَبُوكَ، وكانَ يُحِبُّ أنْ يَخْرُجَ يَومَ الخَمِيسِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari kamis ketika perang Tabuk, dan beliau menyukai untuk memulai perjalanannya pada hari Kamis.” (HR. Bukhari: 2950)
Beliau memulai perjalanannya di awal hari di waktu pagi karena adanya keberkahan dan keutamaan di dalamnya. Sebagaimana di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Shakr Al-Ghamidi, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
اللَّهمَّ بارِكْ لأمَّتي في بُكورِها. وَكانَ إذا بَعثَ سريَّةً أو جيشًا بَعثَهُم من أوَّلِ النَّهارِ وَكانَ صخرٌ رجلًا تاجرًا، وَكانَ يَبعثُ تجارتَهُ من أوَّلِ النَّهارِ فأثرَى وَكَثُرَ مالُهُ
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” Shakhr Al Ghamidi berkata, “Beliau jika mengutus ekspedisi, atau pasukan beliau memberangkatkannya di pagi hari.”
Perawi hadis ini juga berkata,
“Shakhr Al–Ghamidi adalah seorang pedagang, ia biasa mengirim barang dagangannya di pagi hari hingga beruntung dan melimpahlah hartanya.” (HR. Abu Dawud no. 2606)
Baca juga: Adab-Adab Safar (Bepergian Jauh)
Kelima: Membaca doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ketika telah duduk tenang di atas kendaraan, maka membaca,
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبونَ ثمَّ قالَ الحمدُ للَّهِ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ اللَّهُ أَكبرُ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ سبحانَك إنِّي ظلمتُ نفسِي فاغفِر لي فإنَّهُ لا يغفِرُ الذُّنوبَ إلَّا أنتَ
“Mahasuci Zat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan hanya kepada Tuhan kami, niscaya kami akan kembali.” Kemudian ia mengucapkan; Alhamdulillaah tiga kali, Wallaahu akbar tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan “Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa, kecuali engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602, Tirmidzi no. 3446 dan Ahmad no. 753)
Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa,
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هذا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ العَمَلِ ما تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هذا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ في الأهْلِ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بكَ مِن وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ المَنْظَرِ، وَسُوءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَالأهْلِ
“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan takwa serta amal perbuatan yang Engkau ridai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan ini dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam bepergian dan pelindung terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan, dan kepulangan yang menyusahkan dalam harta benda, keluarga, dan anak.” (HR. Muslim no. 1342)
Di antara zikir yang juga diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bertakbir ketika melewati jalan yang menaik dan bertasbih ketika melewati jalan yang menurun. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وإذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Apabila kami mendaki, maka kami bertakbir. Dan apabila kami turun, maka kami bertasbih.” (HR. Bukhari no. 2993)
Dan di antara doa yang diajarkan juga oleh beliau adalah berdoa ketika melihat dan memasuki kota/daerah yang akan dituju. Yaitu, dengan doa,
اللهمَّ ربَّ السمواتِ السبعِ وما أظللنَ، وربَّ الأرَضينِ السبعِ وما أقللنَ، وربَّ الشَّياطينِ وما أضللنَ، وربَّ الرياحِ وما ذَرينَ، أسألُك خيرَ هذه القريةِ وخيرَ أهلِها وخيرَ ما فيها، وأعوذُ بك من شرِّها وشرِّ أهلِها وشرِّ ما فيها
“Ya Allah, Rabb tujuh langit dan apa yang dinaunginya, dan Rabb tujuh bumi dan apa yang di atasnya, dan Rabb yang menguasai setan dan apa yang mereka sesatkan, dan Rabb yang menguasai angin dan apa yang ia hembuskan. Kami benar-benar meminta kepada-Mu kebaikan negeri ini, kebaikan para penduduknya, dan kebaikan yang ada di dalamnya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan negeri ini, keburukan para penduduknya, serta keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10377)
Lalu, apabila turun di suatu tempat atau telah sampai ke tempat yang dituju dan masuk ke dalamnya, maka mengucapkan,
أَعُوذُ بكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِن شَرِّ ما خَلَقَ
“Aku meminta perlindungan kepada Allah dengan kalimat-Nya yang sempurna dari kejahatan segala makhluk.”
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلًا، فَلْيَقُلْ: أَعُوذُ بكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِن شَرِّ ما خَلَقَ، فإنَّه لا يَضُرُّهُ شيءٌ ى يَرْتَحِلَ منه
“Jika salah seorang di antara kalian singgah di suatu tempat , ucapkanlah, ‘Aku meminta perlindungan kepada Allah dengan kalimat-Nya yang sempurna dari kejahatan segala makhluk.’ Niscaya, tidak akan ada yang membahayakannya hingga dia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim, no. 2708).
Wallahu A’lam bisshawab.
Lanjut ke bagian 2: Insyaallah bersambung
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/90541-petunjuk-nabi-dalam-bepergian-dan-melakukan-perjalanan-bag-1.html